Langsung ke konten utama

MASJID KERATON: MASJID TAQWA WONOKROMO: PENINGGALAN KEBUDAYAAN YOGYAKARTA.


  1. SEJARAH BERDIRINYA MASJID TAQWA WONOKROMO

Masjid wonokromo berdiri pada tahun 1755 Masehi, dengan sengkalan “Nyoto Luhur Pandhito Ratu” 1682 tahun Jawa. Didirikan oleh K.H Muhammad Faqih alias Kyai Welit. Didiirikan diatas tanah perdikan anugerah dari Sultan Hamengku Buwono I, setelah Kyai Muhammad Faqih diangkat sebagai Penghulu Keraton. Tanah perdikan ini masih berupa hutan (alas) yang penuh dengan pohon awa-awar, maka terkenal dengan sebutan alas awar-awar. Sebagai bentuk rasa syukur karena dianugerahi tanah itu, KH. Muhammad Faqih lalu mendirikan masjid di ujung tenggara alas awar-awar tersebut. Ketika meresmikan pendirian masjid yang masih sangar bersahaja dan sederhana itu, Sultan Hamengku Buwono I berkenan hadir. Kemudian Sultan memberikan nama alas awar-awar itu dengan nama: (wa an-na karoo-ma) dengan arti “supaya benar-benar nulia”, dengan harapan supaya penghuni kampung ini benar-benar mulia karena beribadah kepada Allah.

K.H Muhammad Faqih alias Kyai Welit alias Kyai Seda Laut. Disebut Kyai welit karena pekerjaan sehari-harinya membuat welit, yaitu atap rumah yang dibuat dari daun ilalang (alang-alang). Selesai membuat welit, lalu ditumpuk begitu saja sebab welit ini tidak dijual tetapi diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan.

Disebut Kyai Seda Laut karena sepulang dari tanah suci pada tahun 1757, kapal yang ditumpangi karam diselat Malaka, sedang puteranya KH. Abdullah terdampar di selat Malaka..

  1. BENTUK BANGUNAN MASJID

Bentuk bangunan masjid pada saat awal didirikan, bangunan induk masjid dalam bentuk kerucut (lancip) dengan mustaka dari kuwali yang terbuat dari tanah liat. Sedang bangunan serambi berbentuk limasan dengan satu pintu didepan. Semua bahan bangunannya terbuat dari bamboo, atapnya dari welit dan dindingnya terbuat dari gedhek. Tempat wudhu terbuat dari padasan yang ditempatkan dihalaman masjid sebelah utara dan selatan. Terdapat dua sumur dan dua pohon randu untuk tempat senggot menimba air.

Bentuk bangunan dan bahan bangunan tidak pernah berubah dalam kurun waktu yang sangat lama, sampai pada tahun 1867 Masehi pada periode K.H Muhammad Faqih II, baik atap bangunan maupun tembok ada sedikit perubahan dengan atap bangunan diganti genteng dari tanah liat, tembok dari batu bata yang direkatkan dengan tanah liat, lantai yang dibuat dari kompoisi aci dari gamping dan tumbukan batu merah dan pasir.

  1. ALAT KELENGKAPAN MASJID
    Pada zaman dulu, didepan masjid dibangun tempat wudhu. Airnya diambil dari sungai Belik yang dialirkan melalui parit. Fungsi kolam selain untuk berwudhu juga berfungsi unuk menghukum orang yang salah dalam memukul kenthongan dan bedhuk, dengan diceburkan di dalam kolam.
    Untuk tanda waktu masuk sholat, selain adzan, dibuat kenthongan dan bedhuk. Suara dan irama bedhuk di hari-hari biasa lain dengan saat tanda masuk sholat 'ashar di hari Kamis. Suara irama bedhuk disebut dengan sarwo lemah, 'asar dowo malem jemuah. Kalau saat masuknya waktu 'ashar di hari Kamis, bedhuk itu dipukul dengan nada dan irama yang khas dan panjang (dowo). Maka apabila suara bedhuk dipukul panjang menandakan bahwa nanti malam adalah malam Jum'ah. Apalagi saat-saat menjelang pelaksanaan sholat Jum'ah, setengah jam sebelumnya bedhuk ditabuh bertalu-talu. Di akhir pemukulan bedhuk disela-sela pemukulan kenthongan. Ini menandakan bahwa pelaksanaan ibadah Jum'ah sudah akan dimulai.
    Tahun 1973 M, seorang warga Wonokromo, Muhammad Asnawi Muslikh, menyumbangkan seperangkat alat pengeras suara yang digerakkan dengan accu 12 volt untuk mengumandangkan adzan. Maka pada tahun inilah ada tonggak sejarah masjid adzan dikumandangkan dengan pengeras suara. Pada saat itu, peristiwa ini menjadi sangat surprise, karena saat itu inilah satu-satunya masjid kidul negoro sing nganggo pengeras.
  2. PERANGKAT MASJID

Sejak awal berdirinya masjid, tidak mengenal istilah takmir masjid bagi orang-orang yang mengurusi urusan kemassjidan. Urusan masjid mutlak ditangan otoritas Kyai. Hal ini berjalan sampai pada tahun 1913 M, sebab pada tahun 1913 M, bagi orang-orang yang mengurus segala urusan masjid baik fisik maupun peribadatan disebut dengan istilah khodimul ummah. Selain itu telah ada pengorganisasian tentang perangkat masjid, bagi khotib disebut abdi dalem kaji selosin, bagi muadzin disebut abdi dalem muaddzin. Adapun orang-orang yang mengurusi urusan fisik masjid dari menyapu sampi menggelar tikar disebut abdi dalem marbot. Semua perangkat yang telah disebutkan diatas mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari keratin Ngayogyakarta Hadiningrat yang disebut dengan Serat Kekancingan.

Pada tahun 1969 M, pola kepengurusan bagi penguruss masjid diganti dengan sistem imamah. Segala sesuatu yang menyangkut urusan masjid secara mutlak di tangan imam. Pada periode itu imamnya adalah K.H Makmun. Hingga K.H Makmun meninggal pola kepengurusan masjid diganti dengan takmir masjid hingga sekarang.

  1. PERKEMBANGAN BENTUK BANGUNAN MASJID

            Pada awal berdirinya, bentuk masjid ini masih sangat sederhana dan apa adanya. Serambi masjid berbentuk limasan, sedang bangunan masjid berbentuk kerucut. Bentuk bangunan ini sampai dengan tahun1867 M. Pada tahun ini oleh K.H.Muhammad Fakih II, bentuk bangunan masjid dibongkar diganti dengan bentuk atap tumpang. Sedangkan bangunan serambi tetap berbentuk limasan. Dipuncak atap tumpang, mostoko yang dulu hanya dari kuali yang dibuat dari tanah liat kemudian diganti dengan bentuk bawangan yang dibuat dari kayu nangka. Tidak hanya bentuk bangunannya yang dirubah oleh K.H.Muhammad Fakih I, kerangka yang semula bambu diganti dengan   sebagian besar diganti dengan kayu nangka dan sebagian dengan kayu gelugu. Tembok yang semula hanya dari gedhek ( anyaman bambu ) diganti dengan batubata yang direkatkan dengan tanah liat yang di plester dengan adukan aci gamping dengan tumbukan bata dan pasir. Demikian lantainya dibuat dari bata yang ditata lalu di plester dengan adonan seperti membuat tembok.

            Oleh K.H.Muhammad Fakih II, ruangan di dalam masjid ditambah disisi kiri dan kanan bangunan masjid atau sebelah utara dan sebelah selatan ruangan masjid dibuat ruangan untuk jama’ah sholat bagi orang-orang putri yang disebut pawastren. Tempat berwudlu yang semula dari padasan dubuat kolam didepan serambi masjid. Air dialirkan dari sungai bal

            Pada tahun 1958, bangunan masjid kembali dibongkar. Bentuk bangunan masjid dengan bentuk atap tumpang tetap dipertahankan, malah ditambah dengan gulu melet sebagai penyela antara atap tumpang sebelah atas dan atap tumpang sebelah bawah. Bangunan serambi masjid diperluas. Kolam tempat wudlu diurug ( ditimbun ) tanah dijadikan halaman masjid. Tempat wudlu dibuat kulah yang ada disisi utara dan selatan serambi masjid. Pawastren tempat jama’ah sholat untuk oarang-orang putri tetap dipertahankan. Bangunan masjid diganti tembok yang disemen. Empat tiang utama didalam masjid diganti dengan batang kayu jati. Gulu melet diberi kaca bening, sehingga suasana didalam masjid menjadi terang. Tempat khotib dibuatkan rumah-rumahan semacam gazebo ukuran 2x2 m. Demikian untuk serambi ada bebebrapa tiang dari cor beton dan didalam serambi tiang dibuat dari balok kayu jati. Didepan serambi dibuat kanopi (kuncungan )

            Lantai baik untuk ruangan masjid atau serambi diganti dengan tegel. Didalam ruangan masjid tegel dibuat warna warni dengan corak ornamen kembag-kembang. Pembangunan masjid ini atas biaya dan dana dari H.Prawiro suwarno alias tembong kotagede.

Tahun 1976 M Mustoko dalam bentuk bawangan yang dibuat dari kayu nangka, diganti dengan mustoko dalam bentuk bawangan yang dibuat dari aluminium dengan ukuran yang lebih besar.

            Pada tahun 1986 M, masjid dapat Banpes ( bantuan presiden )sejumlah Rp 25.000.000,-. Karena kondisi masjid baik dari kayu penyangganya sudah banyak yang lapuk karena bocor setiap kali hujan akibat konstruksi bangunan yang dibuat kurang baik, dan sudah tidak muat lagi menampung jama’ah pada saat jum’atan, maka bangunan masjid atas izin tertulis dari kraton, istilah pada saat itu mendapat palilah dalem , maka bangunan masjid di bongkar dan diperluas.

            Bantuan presiden yang biasanya dikirim atau diserahkan langsung dan biasanya ada potongan-potongan, maka untuk bantuan masjid ini diambil langsung kepada bapak H. Zahid Husein, yang dipimpin oleh bapak K.H.Makmun, dengan di dherek bapak Moh. Da’in santoso, bapak Drs. Munawir, bapak Moh. Wasul baii, maka bantuan kali ini tidak ada potongan sepeserpun, walau dengan konsekuensi ada efek samping.

            Bangunan masjid dibangun dengan total konstruksi beton bertulang, dengan rancangan gambar yang dibuat dan dirancang oleh insinyur bangunan, dengan tidak meninggalkan arsitektur masjid corak jawa Yogyakarta. Hal ini juga memenuhi dhawuh dalem jangan meninggalkan corak kejawaannya yang tertuang dalam surat palilah dalem. Termasuk dalam pemilihan warna catnyaantara komposiisi hjau, kuning san merah dan kuning emas (prodo) karena ada nilai filosofisnya, dngan ornamen dengan corak jawa Yogyakarta. Ada catatan yang menarik, pada saat itu akan dibuat menara dari konstruksi beton. Tetapi dari kraton tidak mengizinkan karena corak masjid di Yogyakarta  itu tidak ada menaranya.

            Pada tahun 2003M, masjid ini mendapat bantuan pengembangan masjid dari Dinas Pariwisata Yogyajarta, kemudian dibangun gedung pertemuan yang terletak diutara serambi masjid. Kulah dinbikin simetris antara kulah disebelah utara serambi masjid dan di sebelah selatan serambi masjid. Ada penambahan bangunan kanopi ( kuncungan ) dan dihidupkannya kolam di depan di sisi kiri dan kanan serambi masjid. Juga penyempurnaan dapur untuk memasak air pada saat hari-hari besar islam di masjid. 

  1. NAMA MASJID TAQWA
    Sejak masjid ini didirikan oleh Kyai Muhammad Fakih, masjid ini tidak ada namanya. Saat itu, masyarakat mengenalnya dengan sebutan masjid Wonokromo. Pada saat kepengurusan masjid dipegang oleh Kyai Makmun, masjid diberi nama Masjid Taqwa, bukan Masjid at-Taqwa.
    Ada argumen yang diberikan Kyai Makmun kenapa masjid ini diberi nama masjid Taqwa dan bukan Masjis at-Taqwa. Kata taqwa adalah bentuk isim nakiroh, yang mengandung pengertian umum untuk siapa saja. Siapa saja dari tingkatan kyai sampai dengan tingkat orang awam sekalipun boleh beribadah di masjid ini, tak ada bedanya dengan siapa pun. Termasuk yang boleh masuk ke masjid ini tidak hanya warga Wonokromo, tapi juga warga lainnya. Lain dengan kata at-Taqwa dalam bentuk isim ma'rifah, yang mengandung pengertian khusus, bahwa yang boleh masuk masjid hanya para kyai saja. Atau masjid ini hanya khusus untuk warga Wonokromo saja.
    Pemberian nama ini dilakukan secara resmi dengan membuka selubung papan nama yang lakukan oleh Kyi Makmun, selubung papan nama Masjid Taqwa pada saat itu digantung di kanopi (kuncungan) di serambi masjid.
  2. FUNGSI MASJID TAQWA WONOKROMO

Selain berfungsi untuk kegiatan sholat jama’ah, ada beberapa fungsi Masjid Taqwa yang istimewa bagi masyarakat Wonokromo, antara lain untuk kegiatan sholat tarawih, jamaah sholat iedul fitri dan iedul adha, untuk pengmpulan zakat fitrah dan zakat mal yang dipusatkan dimasjid ini dan penyalurannya. Untuk kegiatan syawalan dengan istilah bodo kupatan. Untuk pengumpulan serta penyembelihan hewan kurban. Tiap tanggal 6 dan 7 Sya’ban diadakan majelis sima’atul Qur’an yang sudah dimulai sejak 1991 M. Malam harinya diadakan malam lailatul ijtimak (malam berkumpulnya warga Wonokromo, baik pria maupun wanita) untuk melakukan dzikir atau tahlilan, memohonkan ampunan kepada Allah untuk para leluhur Wonokromo.

Kegiatan lain diantaranya adalah sholawatan  yang dibagi menjadi 3 macam yaitu Radat, Maulud dan Hadroh.

Komentar