A.
LATAR
BELAKANG
Anak
usia dini merupakan anak yang memiliki usia antara 0 sampai dengan 8 tahun.
Sedangakan pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang diawali dari
pendidikan keluarga, dilanjutkan dengan playgroup, Taman Kanak-kanak, dan
Sekolah Dasar kelas awal. Pengertian terakhir inilah yang kini banyak menjadi
pegangan.
Pendidikan Anak Usia Dini kini tidak
hanya sebagai tempat “penitipan anak” saja tetapi dengan perkembangan zaman dan
tuntutan pendidikan, kini PAUD menjadi salah satu wadah atau tempat yang dipercaya
dapat memberikan dan memperbaiki system pendidikan anak usia dini yang lebih
maju serta mencetak para penerus bangsa yang berkarakter dan berintelektual
tinggi nantinya dengan prinsip-prinsip pembelajaran PAUD.
Prinsip-prinsip PAUD pada garis besarnya
diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu prinsip-prinsip teoritis dan
prinsip-prinsip praktis dalam pembelajaran anak usia dini.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
saja yang termasuk dalam prinsip-prinsip teoritis dalam pembelajaran/kegiatan
anak usia dini?
2. Apa
saja yang termsuk dalam prinsip-prinsip praktis dalam pembelajran/kegiatan anak
usi dini?
C. TUJUAN
1. Mengetahui
prinsip-prinsip teoritis dalam pembelajaran/kegiatan anak usia dini.
2. Mengetahui
prinsip-prinsip praktis dalam pembelajaran/kegiatan anak usia dini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PRINSIP-PRINSIP TEORITIS DALAM
PEMBELAJARAN/KEGIATAN PAUD
Para
pakar pendidikan anak usia dini terutama Wilhem (1782-1852), Maria Montessori
(1869-1952, dan Steiner (1861-1925) mengembangkan teori dan praktisinya
dibagian dunia yang berbeda pada zamannya masing-masing, yang kemudian oleh
Tina Bruce (1987) dirangkum dalam sepuluh prinsip pendidikan anak usia dini sebagai
berikut:
1. Masa
anak-anak adalah sebagian dari kehidupannya secara keseluruhan. Masa ini bukan
dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan pada massa yang akan dating, melainkan
sebatas optimalisasi potensi secara normal.
2. Fisik,
mental dan kesehatan sama pentingnya dengan berpikir maupun aspek psikis (spiritual) lainnya. Oleh karena itu,
keseluruhan (holistis) aspek
perkembangan anak merupakan pertimbangan yang sama pentingnya.
3. Pembelajaran
pada usia dini melalui berbagai kegiatan saling berkaitan satu dengan yang
lainnya, sehingga pola stimulasi perkembangan anak tidak boleh sektoral dan
parsial, hanya satu aspek perkembangan saja.
4. Membangkitkan
motivasi intrinsic (motivasi dari dalam diri) anak akan menghasilkan inisiatif
sendiri (self directed activity) yang
sangat bernilai daripada motivasi ekstrinsik.
5. Program
pendidikan pada anak usia dini perlu menekankan pada pentingnya sikap disiplin
karena sikap tersebut dapat membentuk watak dan kepribadiannya.
6. Masa
peka (0-3 tahun) untuk mempelajari sesuatu pada tahap perkrmbangan tertentu,
perlu diobservasi lebih detail.
7. Tolak
ukur pembelajaran PAUD hendaknya bertumpu pada hal-hal atau kegiatan yang telah
mampu dikerjakan anak, bukan mengajarkan hal-hal baru kepada anak, meskipun
tujuannya baik karena baik menurut guru dan orang tua belum tentu baik menurut
anak.
8. Suatu
kondisi terbaik atau kehidupan terjadi dalam diri anak (innerlife), khususnya pada kondisi yang menunjang.
9. Orang-orang
sekitar (anak dan orang dewasa) dalam interaksi merupakan sentral penting
karena mereka secara otomatis menjadi guru yang terbaik.
10. Pada
hakikatnya, pendidikan anak usia dini merupakan interaksi antara anak,
lingkungan, orang dewasa, dan pengetahuan.[1]
Berbeda
dengan Tina Bruce, Douglas H. Clements membagi prinsip pendidikan anak usia
dini ke dalam empat kategori:
Pertama,
kategori anak adalah peserta didik aktif. Berdasarkan teori Piaget dalam perkembangan
kognitif, anak membangun pengetahuan sendiri secara konstruktif. Beberapa
prinsip yang termasuk dalam kategori ini yaitu:
1. Pemahaman
terhadap anak dilakukan secara partisipasi aktif dan mengikuti pola
perkembangan anak.
2. Memotivasi
dan menstimulasi anak untuk membangun ide-idenya sendiri, dan menguji ide
tersebut melalui aktivitas fisik dan mental.
3. Menyediakan
kesempatan bagi anak untuk belajar melalui bermain, dan mengekspresikan idenya
dengan bebas-kreatif serta mengembangkan minat estetik, keterampilan motoric
dan nilai-nilai moral keagamaan.
4. Menyediakan
kerangka konseptual dan memperbanyak pada aspek pengertian daripada
pengetahuan.
5. Menekankan
aspek berpikir, alasan (reasoning),
dan pengambilan keputusan secara mandiri
Kedua, kategori
anak sebagai pembelajar social-emosional. Perkembangan social dan emosional
penting bagi anak. Interaksi social antara anak dan orang dewasa adalah masalah
kritis untuk dipelajari. Di dalam pembelajran social-emosional terdapat dua
prinsip utama yakni: (1) Menyediakan kesempatan bagi anak untuk berinteraksi
secara social untuk menumbuhkan self image yang positif dalam diri anak. (2)
Menyediakan berbagai kesempatan untuk belajar tanpa tuntutan dari orang tua
maupun guru.
Ketiga, kategori
anak sebagai peserta didik indipenden. Hal ini menurt adanya sejumlah prinsip
sebagai berikut:
1. Menyediakan
lingkungan yang dapat mendorong otonomi atau kebebasan anak untk bermain secara
eksploratif.
2. Menstimulasi,
mendorong dan memotivasi anak untuk mencari relasi atu pergaulan (relationship) dengan orang lain, melalui
pergaulan dalam bermacam problem.
3. Memotivasi
anak untuk memperkaya pengalaman dengan berbagai solusi dan
alternatif-alternatif pemecahan masalah.
4. Memberi
peluang kepada anak untuk memiliki tujuan-tujuan realistic dan dalam
memprekdisikan atau mengkonfirmasikan suatu peristiwa.
5. Memilih
anak untuk dapat menggunakan beragam teknik mempermudah belajar dari materi
yang kompleks.
Keempat,
kategori anak sebagai pembelajar didunia nyata. Hal ini juga meuntut adanya
sejumah prinsip, diantaranya yaitu:
1. Memberi
ruang bagi anak atau memberi kesempatan kepada anak untuk mengeksplorasi
problem-problem riil, situasi yang bermakna mempunyai tujuan dan berkaitan
dengan pengalaman pribadi anak.
2. Menyediakan
umpan balik yang memungkinkan adanya konsekuenssi yang wajar dari setiap
aktivitas anak.
3. Menumbuhkan
motivasi secara intrinsik bukan ekstrinsik.[2]
B. PRINSIP-PRINSIP PRAKTIS DALAM
PEMBELAJARAAN/KEGIATAN PAUD
Salah
satu pilar konsep dasar PAUD adalah prinsip-prinsip pelaksanaan pembelajaran.
Terdapat tiga belas prinsip pelaksanaan pembelajaraan PAUD.
1.
Berorientasi Pada Kebutuhan Anak
Kegiatan
pembelajaran anak harus senantiasa berorientasi pada kebutuhan anak. Menurut
Maslow, kebutuhan manusia ada tujuh tingkat yang tersusun secara hierarki,
yakni: kebutuhan fisik, keamanan, kasih saying, harga diri, kognisi, estetika,
dan aktualisasi diri. Namun bagi anak-anak, kebutuhan tersebut hanya sampai
pada tingkat tiga, yakni berhenti pada tingkat kasih saying. Menurut Maslow,
kebutuhan mendasar bagi anak adalah kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian dan
lain-lain). Artinya anak dapat beraktivitas dengan baik ketika kebutuhan
dasarnya terpenuhi. Kebutuhan berikutnya adalah keamanan (aman, nyaman,
terlindung dan bebas dari bahaya). Artinya, anak akan semakin mudah
terkondisikan ketika dua kebutuhannya sudah terpenuhi. Kebutuhan anak
berikutnya adalah kasih saying (dimengerti, dikasihi, dihargai dan lain-lain).
Dalam kondisi yang demikian nak akan merasa separuh dari kebutuhan hidupnya
telah terpenuhi.
2. Pembelajaran
Anak Sesuai Denagn Perkembangan Anak
Pembelajaran
anak udia dini harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak, baik usia
maupun kebutuhan individual anak. Perkembangan anak memiliki pola tertentu
sesuai dengan garis waktu perkembangan. Setiap anak berbeda perkembangannya
dengan anak lain, ada yang cepat ada yang lambat. Oleh karena itu, pembelajran
anak usiaa dini harus disesuaikan baik lingkup maupun tingkat kessulitannya
dengan kelompok usia anak.
3. Mengembangkan
Kecerdasan Majemuk
Ukuran
Kecerdasan anak bukan pada kemampuan kognitif (calistung), melainka pada
kematangan emosi. Dengaan demikian meskipun anak udsia dini telah mampu
membaca, menlis, dan menghitung dengan baik, belum tentu anak tersebut cerdas.
Justru sebaliknya, ada kemungkinan stimulasi yang berlebihan untuk pengembangan
kognitif, sehingga pengembangan kecerdasan yang lain (linguistic, kinestetik, interpersonal, dan
seterusnya) menjadi terabaikan.
4. Belajar
melalui Bermain
Bermain adalah
salah satu penddekatan dalam melaksanakan kegiatn pendidkan untuk anak usia
dini. Denagan menggunakan strategi, metode, bahan dan media yang menarik,
permainan dapat diikuti anak secara menyenagjan. Melaalui permainan anak dapat
diajak berekplorasi, menemukan dan memanfaatkan benda-benda disekitarnyaa.
Montessori
menilai bahwa bermainnya anak bukan sekedar “main-main” tetapi mereka
“sunggug-sungguh bermain”. Montessori menilai bahwa bermain adalah kegiatan
“kerja” anak-anak yang sesungguhnya atau lebih dari sekedar belajar (Britton,
1992:20).
5. Tahapan
Pembelajran Anak Usia Dini
Pembelajran bagi anak
usia dini hendanya delakukan secara bertahap, mulai dari yang konkret ke yang
abstrak, dari sedrhana ke yang kompleks, dari yang bergerak ke verbal, dan dari
diri sendiri ke lingkungan sosil. Agar dapat dikuasai dengan baik, hendaknya
guru menyajikan kegiatan-kegiatan yang berulang-ulang, tetapi jangan sampai
membosankan. Anak-anak mempunyai ketertarikan terhadap sesuatu yang baru dan
ketika ia mampu melakukannya, ia cenderung akan mengulang-ulangnya.
6. Anak
Sebagai Pembelajar Aktif
Anak melakukan
sendiri kegiatan pembelajarannya dan guru hanya sebagai fasilitator atau
mengawaasi dari jauh. Dalam kegiatan belajar sambil bermain guru tidak banyak
campur tanagn karena hal itu justru akan mengganggu kegiatan anak.
7. Interaksi
Sosial Anak
Ketika anak berinteraksi dengan
temannya maka anak akan belajar. Inilah mengapa “tanpa belajar” bahasa, pada
usia 4-5 tahun ia telah mempunyai kosakata lebih dari 14.000 kosa kata. Anak
yang diasuh oleh seorang ibu yang banyak bicara relative lebih cepat
perkembanangan bahasanya dibandingkan dengan seorang anak yang diasuh ibu yang
pendiam. Demikian pula dengan guru-guru TK yang dipandu oleh ibu-ibu dengan
tingkat kecerewetan tinggi, justru berimplikasi positif bagi perkembangan
bahasa anak.
Sebaliknya, anak-anak yang diasuh
oleh ibu yang tunawwicara akan mengalami gangguan perkembangan bahasa di
kemudian hari. Demikian pula dengan guru-guru PAUD yang relative pendiam atau
tidak komunikatif dengan anak-anak, justru berimplikasi pada lambannya
perkembangan bahaasa pada anak.
8. Lingkungan
yang Kondusif
Lingkunagn harus diciptakan
sedemikian rupa sehingga menarik dan menyenagkan dengan memerhatikan keamanan
serta kenyamanan yang dapat mendukung kegiatan belajar melalui bermain.
Artinya, lingkunagn bermain anak harus bebas dari benda-benda tajam yang dapat
mengancam keselamtan anak termasuk bahan mainan dan cat pewarna mainan yang
tidak menimbulkan iritasi pada tangan anak saat digunakan bermain.
Di samping itu, settinglah ruangan
yang aman bagi ank untuk melakukan gerakan atraktif, termasuk memanjat meja dan
kursi guna mengambil permainan.
9. Merangsang
Kreativitas dan Inovasi
Kegiatan pembelajran di PAUD harus
merangsang daya kreativitas dengan tingkat inovasi tinggi. Dalam hal ini,
permainan sains dapat disajikan dalam berbagai kegiatan di PAUD.inti dari
permainan sains adalah merangsang hasrat rasa ingin tahu anak sehingga
diperlukan inovasi dalam membuat permainan baru. Artinya, jika kegiatan bermain
dilembaga PAUD hanya “itu-itu saja” tentu tidak akan maampu merangsang hasrat
ingin tahu anak. Oleh karena itu, inovasi dibidang permainaan, khususnya
permainan sains, harus digalakkan, dan inovasi termasuk inovasi permainan
selalu mebutuhkan kreativitas tinggi.
Proses kreatif dan inovatif dapat
dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang menarik, mebangkitkan rasa ingin tahu
anak, memotivasi anak untuk berpikir kritis, dan menemukan hal-hal baru.
10. Mengembangakan
Kecakapan Hidup
Pembelajaran dilembaga PAUD harus
mampu mengembangkan kecakapan hidup anak dari berbagai aspek secara menyeluruh
(the whole child). Berbagai kecakapan dilatih agar anak kelak menjadi manusia
yang seutuhnya. Bagian dari anak dikembangkan meliputi bidang fisik-motorik,
intelektual, moral, social, emosi, kreativitas dan bahasa. Tujuannya adalah
agar kelak anak berkembang menjadi manusia yang utuh dan memiliki kepribadian
atau akhlak mulia, cerdas dan terampil, mampu bekerja sama dengan orang lain,
mampu hidup bermasyarakat, berbangsa daan bernegara.
Mengembangkan kecakapan hidup dapat
dilakukan dengan proses pembelajaran. Halmini dimaksudkan agar anaak belajar
untuk menolong diri sendiri, displin, mampu bersosialisasi, dan memperoleh
bekal keterampilan dasar yang berguna untuk kelangsungan hidupnya.
11. Memanfaatkan
Potensi Lingkungan
Media dan sumber pembelajaran dapt
berasal dari lingkungan alam sekitar atau bahan-bahab yang sengaja disiapkan
oleh pendidik/guru, termasuk dalam hal ini adalah bahan-bahan untuk membuat
permainan edukaatif sendiri. Bahan-bahan bekas yang berserakan dilingkungan
sekitar dapat ddikelola secara kreatif kemudian diolah secara inovatif menjadi
permainan-permainan edukatif yang dapat memicu rasa ingin tahu anak.
Terdapt beberaapa keuntungan dengan
mengolah bahan tak terpakai secara kreatif untuk dibuat permainan edukatif
secara inovatf. Pertama, karena anak mudah bosan dengan satu permainan,
permaianan yang dibuat bias dirancang hanya untuk beberapa kali digunakan.
Setelah selesai digunakan anak merasa bosan seiring dengan permainan tersebut
telah rusak. Kedua, guru atau orang tua dapat membuat permainan bersama anak
atau calon pengguna, sehingga bentuk permaianan lebih sesuai denagn selera
anak. Ketiga, memanfaatkan lingkungan sebagai permainan dapat menghemat biaya
pendidikan anak usia dini.
12. Pembelajaran
Sesuai Dengan Kondisi Sosial, Budaya
Kegiatan atau pembelajaran anak
usia dini harus sesuai dengan social budaya dimana anaj tersebut berada. Apa
yang dipelajarai anak adalah persoalan nyata sesuai sesuai dengan kondisi
dimana anak dilahirkan. Berbagai objek yang ada disekitar anak, kejadian, dan
isu-isu yang menarik dapat diangkat sebagai tema persoalan belajar. Misalnya,
membiassakan anak untuk budaya antre. Budaya ini di satu sisi mengajarkan
kesabaraan, disisi lain mengajarkan ketertiban dan keteraturan.
13. Stimulasi
Secara Holistik
Kegiatan atau pemebelajaran anak
usia dini harus bersifat terpadu dan holistic. Anak tidak boleh hanya
dikembangkan kecerdasan tertentu saja, seperti IPA, Matematika, bahasa, secara
terpisah tetapi terintergrasi dalam satu kegiatan. Misalnya, melalaui bermain
air, anak dapat belajar berhitung (matematika), mengenal sifat-sifat air (IPA),
menggambar air manccur (seni) dan seterusnya. Dengan demikian, setiap permainan
dapat mengembangkan seluruh aspek kecerdasannya.
cantik banget pemandangannya, pengenlah maen kesana k...
BalasHapusRental Mobil
waow indahnya pemandangan kosakora, cantiknya pengen maen kesana
BalasHapusCvtugu